Sebuah tempat pelampiasan imajinasi yang terpendam.

Selasa, 20 Juni 2017

Surat Lusuh Untuk Evelyn


Langit senja kian mengubah warnanya menjadi keemasan, diselingi oleh para rumput menari mengikuti arah angin. Beberapa hewan turut bergegas mengumpulkan makanan mereka ke dalam sangkar. Sedangkan aku, masih terdiam di atas sebuah batu hitam, memandangi alam nan indah pada sebuah gunung tua di arah utara penduduk sipil berada.

Hatiku tertegun, setiap kali berada di sini, suasana damai dan tentram turut menyelimuti tiada akhir. Setiap beban yang kupikul, perlahan mencair menjadi partikel-partikel air hingga menghilang dibakar oleh sang mentari.

Saat perlahan kututup kedua bola mata, aku teringat akan ucapan nenek yang tiada hentinya terus menyelimuti. "Keanggunan dapat menjadi daya tarik, sedangkan kekuatan hanya akan membuatmu ditakuti pihak lain. Itulah mengapa seorang wanita jauh lebih membuat nyaman untuk dipandang ketimbang seorang lelaki perkasa bersama senjatanya."

Ketika sebuah senapan api turut disodorkan, beberapa pihak mulai berubah menjadi seekor kera pada pertujukan sirkus. Merasa takut, cemas, dan panik jika melakukan kesalahan. Ingin rasanya melawan, tapi apalah daya fisiknya tak sampai.

Sekali yang kurasa, aku ingin merasakan suasana ini lagi. Di mana setiap pagi aku dapat melihat senyuman ibu-ibu tua yang berjemur di depan rumah. Menyapaku dalam bisikan lembut, memberikan berbagai buah tangan secara sukarela untukku dan adikku.

Namun kali ini, semua yang kubayangkan hanyalah sebatas fatamorgana. Setiap hari aku dan adikku, harus berperan selayaknya pencuri dalam gelapnya malam. Mencoba menjadi tak terlihat dari tentara musuh. Jikalau aku melakukan tindakan bodoh, perlakuan hinalah yang aku dapat dari mereka.

Peperangan yang terjadi antara negara blok timur turut memporak-porandakan tempatku berada. Bahkan sebuah singgah sana kecilku dan rumah paling nyaman, telah hancur rata dengan tanah akibat ledakan bom yang luar biasa.

Aku hidup sebatang kara, tak punya sanak saudara ataupun teman, semuanya telah lenyap akibat tembakan-tembakan peluru api yang turut menghujani mereka.
Kedua orang tuaku, ia telah meninggal karena menyelamatkanku dari pihak tentara musuh dengan menyembunyikanku dan adikku ke dalam ruang bawah tanah. Sebagai gantinya atas upaya mereka mempertahankan pintu masuk, berbagai peluru turut melubangi tubuh mereka. Hingga sebuah kain yang bersih turut ternodai oleh merahnya darah.

Hatiku serasa teriris melihat mereka diperlakukan tak manusiawi, diinjak, dan dihina selayaknya hewan yang tak punya harga diri. Meskipun ibuku telah sekarat, masih bisa-bisanya mereka menggerayangi tubuh ibuku demi meluapkan hawa nafsu keparatnya, benar-benar kejam!

Tak ada tempat bagi kami berdua, segala properti pada kota tempat kami tinggal telah hancur lebur. Bahkan untuk sekadar makan saja kami harus berperan layaknya seekor hewan dengan mengacak-acak puing reruntuhan, berharap mendapat sebuah roti saja sudah bersyukur.

Ketika malam melanda, tubuh kami harus berjuang melawan rasa dingin yang menusuk hingga kepori-pori. Tempat kami berlindung di kala gelap hanyalah sebuah gua kecil pada gunung tempat kami biasa bermain dulu.
Tak nyaman memang, tubuhku terasa gatal setiap kali serangga-serangga kecil menyerang. Sebagai fasilitas penerang saja aku harus memanfaatkan para kunang-kunang yang kuletakkan di dalam kelambu.

Dibeberapa waktu, dengan sangat terpaksa aku mencuri sebuah ubi dari pekarangan rumah-rumah pejabat demi menghidupi kami berdua. Terkadang adikku mengeluh, ia ingin merasakan makanan yang nikmat, tetapi setiap kali ia mengucapkannya, semakin membuat dadaku sesak. Rasanya ingin kupasrahkan diri, berjalan menuju arah tentara dengan harapan agar mereka menembakiku. Namun, aku tidak ingin merasakan kematian! Setiap kali kupikirkan turut membuat pikiranku menjadi kacau.

Perkembangan kesehatan adikku kian memburuk, tubuhnya mulai mengecil, sedangkan pada punggungnya terdapat bercak-bercak merah, seperti gigitan para serangga kecil. Aku tahu ini berat, menepis kejamnya dunia memang sulit dilakukan. Terkadang satu atau dua hari kami harus merasakan kelaparan, upaya kami untuk mengganjal perut hanyalah memakan dedaunan dan meminum air di sungai.

Suatu ketika, aku berangkat dari tempat persembunyian untuk mencari bantuan ataupun makanan yang layak dikonsumsi, sedangkan adikku menunggu dengan penuh harap, semoga kakak pulang membawa banyak makanan.

Aku berjalan perlahan menuju pusat kota, lalu memasuki sebuah supermarket kecil yang terletak di sebelah toko pakaian. Aku melihat beberapa makanan turut berserakan di lantai seperti roti dan snack ringan, lalu kupunguti satu persatu.

"Alicia, kakak pulang. Aku membawa banyak makanan untuk--" ucapanku terhenti melihat ia telah terkapar di atas tanah tak sadarkan diri. Wajahnya terlihat sangat pucat. Aku semakin khawatir akan dirinya. Sehingga kulepaskan makanan itu dari genggaman untuk langsung menghampirinya.

"Ailicia! Apa yang terjadi denganmu? Apa para musuh datang menyerang?!"

Saat kusentuh tubuhnya, aku merasakan suhu dingin yang luar biasa. Seperti suhu tubuh seorang mayat.
Perlahan kugerakkan jari ini ke lubang hidungnya, tak ada tanda-tanda gempuran nafas yang menggebu-gebu, bahkan detak jantungnya saja sudah tak bisa kurasakan!

"Tidaak!! Alicia, aku mohon, bangunlah!!"
Suasana berubah menjadi haru, kedua bola mataku turut berlinang air mata yang tiada hentinya terus membanjiri.

Dadaku serasa sesak, beberapa bulan aku kehilangan kedua orang tua, kini aku harus kehilangan adikku sendiri. Membuatku menjadi sebatang kara, lengkap sudah rasa penderitaannya.

Kupalingkan pandangan karena tak sanggup melihatnya seperti itu, aku melihat secarik kertas di atas bebatuan. Di sana, aku melihat tulisan tangan yang tak asing bagiku.

"Aku bahagia hidup di dunia ini bersama kakak. Berada di dalam perlindungan seorang wanita luar biasa pada adiknya. Ia rela mengorbankan segala cara agar aku bisa makan. Sedangkan ia harus merasakan kelaparan." tangisku kian membesar, kepalan tanganku mulai melemah memegang kertas lusuh ini. "Biarlah aku yang turut menderita, aku tidak ingin menyusahkan kakak. Sedari awal aku berkata tidak terlalu lapar agar kakak tidak memberikan seluruh jatah makanannya padaku. Akan tetapi, bodohnya diri ini sudah tak sanggup menahannya. Hingga akhirnya kutuliskan surat ini untuk kak Evelyn sebagai ucapan selamat tinggal. Aku harap kamu bisa hidup lebih layak suatu hari nanti, percayalah bahwa keajaiban tuhan itu memang ada. Dari adikmu tercinta, Alicia."

Hidup ini berjalan silih berganti. Pada ufuk barat terlahir generasi baru, sedangkan di ufuk timur mulai meninggalkan dunia. Kita selaku manusia, hanya bisa berserah diri pada Tuhan, semoga ia memberikan kebijaksanaannya pada kita, agar dapat hidup tak seperti seekor hewan dalam genangan air kotor.

Memulai perselisihan memang mudah, namun menundukkan kepala untuk meminta maaf ialah hal tersulit bagi manusia. - Lee Yurani

- Lee Yurani
Jakarta, 4 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lee Yurani

Selamat datang di situs resmi blog pena saya. Pada tempat ini, saya mencurahkan segala hal mengenai kehidupan pribadi maupun karya-karya tulis saya. Dapat dikatakan, tempat ini adalah sebagai pelampiasan dari imajinasi yang terpendam.


Dahulu, aku pernah membuat sebuah blog resmi, hanya saja materi yang dibahas di sana sedikit kurang rapih. Maka dari itu, di sini aku hanya memfokuskan diri untuk memposting karya tulis saja.

Komentar

Hubungi Saya

Nama

Email *

Pesan *